IMPLEMENTASI KURIKULUM MERDEKA ( IKM )

 

Oleh: Drs. Suwardi, MM  ( Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Sragen )

        Budi Sriyanto, S.Pd. M.Pd  ( Kepala  SMP Negeri 1 Sidoharjo )

Kurikulum Merdeka yang diluncurkan pada 2022 ini merupakan bagian dari kebijakan Merdeka Belajar yang dikeluarkan sejak Desember 2019. Menurut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, Kurikulum Merdeka Belajar adalah sebuah pengembangan dan penerapan dari kurikulum darurat yang diluncurkan dalam merespons pandemi Covid-19. 

Sekolah diberikan tiga pilihan, yaitu menggunakan Kurikulum 2013 secara penuh, Kurikulum 2013 yang disederhanakan atau disebut juga kurikulum darurat, atau Kurikulum Merdeka (semula disebut dengan Kurikulum Prototipe). Kurikulum Merdeka dinyatakan memiliki keunggulan karena fokus pada materi esensial dan memberikan kemerdekaan kepada siswa, kepala sekolah, dan guru dalam memilih pembelajaran yang sesuai.

Dalam perjalanannya, Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) dilaksanakan bertahap, tidak serentak dan tidak secara masif. Di antaranya dengan pembentukan Sekolah Penggerak dan Sekolah Menengah Kejuruan Pusat Keunggulan (SMK-PK). Pemerintah juga memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengadakan pembelajaran IKM secara mandiri. IKM Mandiri dibuat dalam tiga katagori, yaitu Mandiri Belajar, Mandiri Berubah, dan Mandiri Berbagi. 

Pada Mandiri Belajar, sekolah diberikan kebebasan menerapkan beberapa bagian dan prinsip Kurikulum Merdeka dengan tetap menggunakan Kurikulum 2013. Mandiri Berubah, sekolah diberikan keleluasaan untuk menerapkan Kurikulum Merdeka dengan menggunakan perangkat ajar yang sudah disediakan. Mandiri Berbagi adalah sekolah mengembangkan sendiri berbagai perangkat ajar yang dibutuhkan. 

Sekolah tampaknya cukup antusias dalam mengikuti IKM Mandiri. Pada saat tulisan ini dibuat, berdasarkan data di Kemendikbudristek, telah bergabung sebanyak 62.955 sekolah atau 29 persen populasi sekolah di Indonesia dalam tiga kategori tersebut. Sementara jumlah Sekolah Penggerak mencapai 9.242 sekolah atau sebesar 4 persen dari populasi sekolah di Indonesia. Dalam proyeksi pemerintah, periode 2022 - 2023 diharapkan telah terbentuk 10 ribu Sekolah Penggerak, yang dan pada akhirnya diharapkan seluruh sekolah adalah Sekolah Penggerak.

Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan kepada sekolah, guru, dan siswa untuk memilih sesuai dengan minat. Memberikan berbagai pilihan kepada sekolah, guru, dan siswa di satu sisi berarti adalah kemudahan. Walaupun di sisi lain bisa berarti kesulitan. Hal ini akan berarti mudah jika kepala sekolah dan guru memiliki kesiapan, kapasitas dana, dan kapabilitas yang memadai. Kreativitas dan inovasi menjadi kata kunci dalam implementasi Kurikulum Merdeka di sekolah. 

Dalam berbagai kesempatan, penulis memperhatikan bahwa sekolah-sekolah dengan fasilitas dan sarana yang minim pun tidak mengalami kesulitan dalam menerapkan prinsip-prinsip Kurikulum Merdeka. Ketika kepala sekolah dan guru sudah memahami filosofi dan prinsip dasar pembelajaran, pada hakikatnya sudah memiliki kesiapan untuk menerapkan Kurikulum Merdeka. Guru tidak lagi terbebani dengan administrasi yang berlebihan dan terkadang tidak penting. Tidak ada lagi format-format baku dan kaku yang harus digunakan. Guru diberikan dibebaskan merancang pembelajaran hanya dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 1 lembar saja dengan berbagai penyederhanaan. Ini yang penting, harus memperhatikan profil peserta didiknya.

Namun, berbagai tuntutan kreativitas dan inovasi tersebut akan menjadi kesulitan dan beban tersendiri jika kapasitas dan kapabilitas guru serta kepala sekolah tidak memadai. Guru yang selama ini dipandu oleh format standar dari dinas pendidikan atau pengawas, tentunya akan mengalami kesulitan. Rendahnya kualitas guru ini telah lama menjadi kajian baik oleh pemerintah maupuan lembaga luar pemerintah. Kualitas guru dan kepala sekolah di Indonesia adalah isu strategis yang menjadi masalah selama ini. 

Kajian yang dilakukan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD)  pada 2015 memberikan rekomendasi kuat terhadap peningkatan kulatas guru dan kepala sekolah ini. Uji Kompetensi Guru yang diadakan pada 2015 menunjukkan rata-rata nilai 53,05 di bawah target yang ditetapkan yaitu 55. Nilai PISA Indonesia yang selalu rendah dari tahun ke tahun juga mengkonfirmasi bahwa kualitas pembelajaran kita yang rendah dan diyakini salah satu penyebabnya adalah kualitas guru dan kepala sekolah yang rendah pula.

Isu mengenai peningkatan kualitas kepala sekolah dan guru ini seharusnya menjadi perhatian  kuat pemerintah. Dari 19 episode webinar mengenai kebijakan Merdeka Belajar, hanya satu yang menyasar pembinaan guru yaitu Guru Penggerak pada episode 5. Guru Penggerak adalah prototipe guru yang diyakini mampu menjadi guru pendorong transformasi pendidikan Indonesia. 

Sekarang sudah terjaring guru penggerak sebanyak 5.497 guru (jumlah Indonesia mencapai 3 juta guru) kurang dari 1 persen, sangat belum memadai. Ditambah lagi dengan pola pendidikan instan sekitar 9 bulan secara daring dan luring, dibina oleh tenaga instruktur yang baru direkrut secara instan. Sehingga tidak jauh berbeda masa rekrutmen guru penggerak.  

Rekrutmen guru penggerak dan instruktur guru penggerak ini memang dirancang sebagai sebuah program ad hoc jangka pendek sebagai daya dukung bagi kesuksesan kebijakan Merdeka Belajar. Belum tampak upaya sistematis untuk meningkatkan kepala sekolah dan guru yang telah direkomendasikan oleh berbagai kajian-kajian tentang pendidikan di Indonesia. Kita perlu mengevaluasi lagi sejauh mana kelayakan sistem pendidikan guru dengan skema tersebut.

Kurikulum Merdeka yang sekarang diterapkan diyakini lebih baik dari Kurikulum 2013. Paling tidak secara teoretis dan perlu diperdebatkan. Kurikulum yang memberikan kemerdekaan dan keleluasaan kepada kepala sekolah dan guru dalam mendesain pembelajaran di sekolah diyakini adalah solusi jitu peningkatan mutu pendidikan Indonesia. Hasil survei PISA yang rendah kerap dijadikan argumentasi dalam berbagai kesempatan presentasi tentang kebijakan Merdeka Belajar. Tentunya akan sangat mungkin berargumen agar menjadikan survei PISA mendatang sebagai tolok ukur  keberhasilan penerapan Kurikulum Merdeka. 

Namun, kita tidak akan membangun argumen sederhana itu untuk membahas pendidikan di Indonesia. Kita perlu melakukan evaluasi dan kajian mendalam untuk mendapatkan solusi yang tepat. Pemerintah juga perlu menjelaskan bagaimana evaluasi terhadap Kurikulum 2013 sehingga menghasilkan kesimpulan untuk mengembangkan kurikulum baru, yang disebut sebagai Kurikulum Merdeka. 

Guru dan kepala sekolah perlu dipastikan memiliki kompetensi dan kecakapan minimum untuk kemudian diberikan ruang-ruang kemerdekaan. Karena mutu guru dan kepala sekolah memiliki korelasi yang sangat kuat dengan mutu peserta didik, secara cepat juga kita bisa menyimpulkan bahwa mutu kepala sekolah dan guru kita belum memadai untuk menerapkan Kurikulum Merdeka. 

Rendahnya mutu peserta didik juga telah dikonfirmasi pada beberapa survei pendidikan seperti PISA dan Asesmen Nasional, menunjukkan bagaimana kualitas guru dan kepala sekolah sesungguhnya. Program Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak belum memadai untuk dikatakan sebagai solusi jitu karena sifatnya jangka pendek dan instan. Ditambah lagi dengan kebijakan bahwa syarat kepala sekolah harus guru penggerak, adalah sebuah kebijakan yang tidak mendasar dan perlu diperdebatkan argumentasi ilmiahnya.

Pengembangan sistem pendidikan guru sebetulnya sudah lama dimandatkan undang-udang seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam undang-undang tersebut mengamanahkan kepada pemerintah untuk mengembangkan sistem pendidikan guru ikatan dinas berasrama di lembaga pendidikan tenaga kependidikan untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan. Lebih jauh lagi perlu dibangun ekosistem pendidikan guru yang akan menunjang bagi munculnya guru-guru dan kepala sekolah yang siap menggapai sukses di masa depan. 

Untuk itu, seluruh stakeholder pendidikan dan masyarakat harus dilibatkan seperti perguruan tinggi terutama yang memiliki program pendidikan guru, ormas, dan kalangan industri. Kebijakan peningkatan mutu guru dan kepala sekolah sudah seharusnya jangka panjang dan mengikat setiap pemerintahan, siapa pun  yang memimpin.

Sebagai penutup, pengembangan Kurikulum Merdeka memiliki prasyarat penting yang harus dipenuhi, yaitu guru dan kepala sekolah yang kreatif dan inovatif, dan tentunya memiliki pemahaman yang mendalam tentang individu peserta didik. Hasrat yang tinggi dan spektrum minat belajar siswa yang luas, bisa jadi akan dipatahkan jika dididik oleh guru dan kepala sekolah yang salah. Man behind the gun akan menjadi kunci keberhasilan, bahkan ketika the gun is not too good.

---

Artikel ini merupakan konten kerja sama Tempo dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang di paparkan secara lebih detail oleh Narasumber Bapak Budi Sriyanto, S.Pd. M, Pd pada kegiatan IHT di SMP Negeri 2 Ngrampal yang dihadiri oleh Kepala Dinas Pendidikan dan kebudayaan Kab. Sragen.

Herry_Rust


  • Dokumentasi Kegiatan
  •  


















  • Komentar

    Postingan populer dari blog ini

    Smp n 2 ngrampal goes to gunung kidul&yogyakarta.

    ClassMeeting: Ajang Perlombaan Mengekspresikan Semangat dan Talenta Siswa

    Mengapa Harus Menjadi Sekolah Adiwiyata?